Sabtu, 03 Juni 2017

Lukito Edi Nugroho, Interviwer LPDP

Lowongan Beasiswa, [04.06.17 03:31]
[Forwarded from Rizal]
Jadilah dirimu sendiri
Oleh: Lukito Edi Nugroho
Interviwer LPDP


Saya memilih Padang untuk lokasi wawancara LPDP kali ini karena di kota itu banyak peserta yang berasal dari daerah dan menggunakan jalur afirmasi untuk mendaftar. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, peserta dari daerah afirmasi biasanya punya motivasi dan semangat tinggi dalam mengejar cita-citanya, termasuk untuk melanjutkan belajarnya. Terus terang, saya suka melihat dan bertemu anak-anak yang seperti itu.

Sayangnya kali ini saya harus kecewa karena tidak menemukan apa yang saya harapkan. Benar saya menemukan anak-anak dari daerah yang sangat bersemangat untuk belajar lagi, tapi cara mereka menyajikan keinginan dan semangatnya membuat saya merasa sedih.

Anak-anak itu tidak lagi genuine. Mereka tidak tampil dalam wujud aslinya.

Apa indikasinya? Lebih dari 80% peserta wawancara menyatakan ingin melanjutkan ke sebuah universitas di Jawa, sebut saja X, dan hampir semua peserta, mungkin hanya 1-2 orang saja yang tidak, menyatakan ingin menjadi dosen setelah mereka selesai sekolah kelak. Alasan mereka juga seragam. Universitas X sudah dikenal menghasilkan lulusan yang berkualitas, akreditasinya A, risetnya keren-keren, bla..bla..bla.. Dosen adalah sebuah profesi yang sangat luhur karena mendidik calon-calon pemimpin bangsa, bisa menghasilkan riset yang berguna, bisa mengabdi kepada masyarakat, bla..bla..bla.. Sangat normatif. Ingenuity ini terlihat ketika dalam probing lebih lanjut ada informasi-informasi yang tidak konsisten atau meragukan.

Ada banyak indikasi lain yang menunjukkan bahwa anak-anak itu tampil dalam bentuk polesan, tapi saya tidak ingin membahasnya. Mereka jelas datang dengan make up yang cukup tebal, dengan harapan bisa menarik hati LPDP. Sayangnya tujuan wawancara bukanlah untuk melihat seberapa tebal make up seseorang. Wawancara justru ingin melihat sisi asli seseorang, dan dari wajah asli itulah kemudian LPDP menilai kelayakannya untuk bisa diberi beasiswa atau tidak.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Saya tidak tahu pasti, tapi ditengarai anak-anak itu telah mempersiapkan diri dalam menghadapi wawancara dengan berbagai usaha, termasuk bertanya tentang tips-and-tricks ke sumber-sumber yang memiliki informasi yang mereka perlukan. Jika dicermati, saat ini bertebaran buku, grup WA dan Telegram, dan kelompok-kelompok informal yang dapat diakses oleh para calon peserta wawancara tersebut. Dapat dipahami pula bahwa anak-anak tersebut kemudian terekspos ke pengalaman-pengalaman para seniornya, yang kemudian sayangnya mereka telan pengalaman-pengalaman tersebut secara mentah-mentah.

Situasinya mungkin mirip dengan lulusan SMA yang ingin berhasil menembus SBMPTN. Mereka ikut bimbel dengan harapan: mendapatkan rumus cepat yang efektif untuk mengerjakan soal-soal SBMPTN. Sayangya anak-anak ini lupa terhadap satu perbedaan mendasar: rumus-rumus yang diajarkan di bimbel itu sifatnya universal. Dia bisa dipakai oleh semua orang dengan cara yang sama. Sementara pengalaman menghadapi wawancara itu unik, subyektif, dan melekat pada siapa yang mengalaminya. Kalau seorang senior bilang, ”Saat ditanya kelak mau jadi apa, jawablah dengan ingin menjadi dosen”, itu mungkin cocok baginya, tapi tidak cocok bagi orang lain. Si senior bisa saja memang suka mengajar, sudah lama menjadi asisten dosen, atau terlibat dalam penelitian dosen, sementara si calon interviewee tidak seperti itu. Saat baju orang lain dipakai untuk diri sendiri, maka hasilnya adalah penampilan yang aneh, dan itulah yang muncul saat wawancara.

Salahkah anak-anak itu bertanya ke para senior, orang-orang yang sudah berhasil melewati wawancara? Tentu saja tidak. Sah-sah saja mereka melakukan itu, bahkan penting. Yang perlu diperbaiki adalah cara menyerap informasi yang mereka peroleh. Mereka harus sadar bahwa mereka menerima baju yang cocok untuk orang lain. Untuk dipakai dirinya sendiri, maka perlu ada penyesuaian bentuk atau ukuran. Jika seseorang menyuruh “jadilah dosen”, maka tanyakan dulu ke diri sendiri, “Benarkah aku cocok menjadi dosen? Benarkah passionku di sana? Apa yang sudah ku

Lowongan Beasiswa, [04.06.17 03:31]
[Forwarded from Rizal]
lakukan untuk mencapai tujuan itu? Apa rencanaku jika kelak aku menjadi dosen?” Penting sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur. Jujur pada diri sendiri. Jika ada ketidaknyamanan yang muncul, itu tanda bahwa mungkin menjadi dosen bukan arah yang paling cocok. Jangan ragu untuk putar haluan dan mencari hal-hal genuine yang muncul dari dalam diri.

Pesan saya bagi para interviewee, jadilah diri sendiri dalam wawancara. Itu akan lebih ringan untuk dijalani, dan percayalah, dengan menjadi diri sendiri itu akan lebih mudah menampilkan sisi-sisi kuat dan kelebihan yang dimiliki. Terimalah informasi tentang tips-and-tricks dari sumber-sumber manapun, tapi saringlah dengan baik. Refleksikan ke dalam diri. Ada tips yang layak dipakai, ada yang perlu disesuaikan, dan ada pula yang tidak perlu didengarkan (misalnya, saran seperti ini: bangunlah situasi emosional, kalau perlu dengan menangis, karena itu akan mudah menarik simpati para pewawancara — sadarlah, kita ini melakukan wawancara, bukan drama sinetron).

Singkat kata, datanglah ke lokasi wawancara dengan “kegantengan” dan “kecantikan” kalian dan buatlah para pewawancara tertarik, tapi yakinkan bahwa itu wajah kalian yang asli. Tampilkan inner beauty kalian. Tunjukkan passion, keinginan, kapasitas, dan kemampuan yang sebenarnya tanpa harus terikat pada sesuatu yang bukan berasal dari diri kalian sendiri. Percayalah, inner beauty itu punya daya tarik yang lebih kuat daripada make up setebal apapun.

Bagaimana bila pada akhirnya tidak bisa menunjukkan wajah asli yang bisa meyakinkan LPDP untuk memberikan beasiswa? Menurut saya, janganlah memaksa diri untuk memperoleh sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai bagi kita. Kuliah S2, dan apalagi S3, itu berat, apalagi bila penyesuaian yang harus dilakukan terlalu banyak. Dunia akademik itu belum tentu cocok bagi semua orang. Memasukinya tanpa pengetahuan, bekal, passion, dan daya tahan yang memadai bisa memberikan tekanan yang luar biasa bagi yang menjalaninya. Ingatlah bahwa kesuksesan tidak hanya berasal dari jalur akademik saja. Masih banyak jalur kehidupan lain yang menawarkan opsi yang lebih baik.

Saya juga ingin berpesan pada para senior yang kebetulan pernah mengalami wawancara dan berhasil mendapatkan beasiswa. Teruslah membantu adik-adik kalian untuk menggapai kesuksesan. Menurut saya, itu tanggung jawab moral kalian. Berikan petunjuk dan ceritakan pengalaman sukses kalian, tapi pastikan mereka paham bahwa mereka harus merefleksikan semua itu ke dalam diri dan menyesuaikannya dengan kondisi masing-masing. Temani, tapi jangan suapi mereka, sehingga pada akhirnya mereka bisa menunjukkan potensi yang dimiliki saat wawancara, seperti halnya kalian dulu pernah melakukannya.

FeedBurner FeedCount